By: Retno/Plur
ebaran? Seperti momok bagiku. Seperti tak henti menghantui mimpi-mimpi malamku. Meski
usiaku lebih seperempat abad, tapi lebaran memang selalu membuatku takut.
Gemetar untuk sekedar bangun dari tidur
di akhir hari puasa, atau membayangkan ngilu dan nyeri berdesakan diantara
tubuh-tubuh perkasa dalam ular besi yang seperti merayap di rel. Dan ketika
pelan-pelan senja mulai hampIr malam di akhir bulan puasa, aku seperti hendak
lari dari rumah kumuh ini. Rumah yang kutempati bersama kedua putriku yang
masih belia.
Suamiku entah kemana sampai malam begini. Mungkin tak lagi terpikir
olehnya tuk sekedar mendengar gema takbir yang mendayu-dayu merdu di
masjid-masjid. Suara hati kami lebih mengerikan daripada mendengarkan alunan
lagu-lagu pujian kepada Allah itu. Walau kami sama-sama tahu bahwa kami hanya
mahluk. Meski tak seberuntung manusia-manusia yang melenggang sempurna di dalam
mobil ataumotor di jalan atas rumah kardus kami. Pelan-pelan aku beringsut
membetulkan selimut yang menempel hanya sebagian di tubuh kecil anak bungsuku.
Dia demam sejak tadi pagi. Sementara kakaknya masih di luar sana mencari
sisa-sisa makanan yang disebarkan manusia beruntung dan dermawan di luar sana.
Ya.. kalau lebaran begini, lumayan. Minimal suamiku pulang membawa baju-baju
bekas pakai dari tempat sampah rumah-rumah mewah di kompleks elite sana. Aku
iba melihat anak bungsuku meringkuk karena dingin menusuk kulitnya. Pelan-pelan
kubetulkan kompresan yang kutempelkan di jidatnya. Air kompresan itu tak lagi
sehangat tadi, namun mungkin bisa menurunkan demam yang bersarang ditubuh
mungilnya.
Ku
pandangi pintu reyot didepanku. Kain tipis bekas spanduk yang ku pasang disana
bergerak-gerak terkena hembusan angin malam. Aku mulai gelisah. Bagaimana kalau
anakku tak turun demamnya? Tadi sore sudah kuminumi obat demam anak yang ku
beli di warung sebrang jembatan. Kadang dia mengigau sambil memegangi boneka
lusuh yang dihadiahkan kakaknya beberapa hari lalu. Aku ingin berteriak, kenapa
anak-anakku tidak lebih beruntung dariku? Boneka bekas yang sudah ku tambal
sulam karena robek itu kadang membuatnya tersenyum dalam tidur. Yang lebh
mengenaskan lagi, ia kadang-kadang memanggil kakaknya sambil tertawa-tawa
sendiri. Aku jadi ingat, kakaknya sering mengajaknya bercanda seharian dan
begitulah tawanya ketika bermain bersama kakanya. Kenapa Kinan anak sulungku
belum tampak pulang. Sebenarnya aku tak tega melihat Kinan memulung barang
bekas seperti itu. Tapi, beberapa hari ini adiknya tak mau ku tinggalkan.
Terpaksa kinan yang berjalan menyusuri kompleks elite tempatku biasa
mengumpulkan barang-barang bekas.
Makin malam, udara makin dingin.
Ku lihat anakku yang demam bertambah menggigil. Mungkin rasa dingin dan lapar membuatnya
seperti itu. Aku beranjak menuju kaleng bekas biskuit tempatku menyimpan
beras. Aku menghela nafas panjang. Hanya
tinggal setengah genggam. Yah… lumayanlah. Ku coba menyalakan kompor minyak di
sudut ruangan. Untung masih ada sedikit minyak tanah bekas tadi pagi. Sambil
mengaduk bubur beras itu, air mataku tak terasa mengalir pelan. Aku ingat ibu
di kampung yang lama tak kutengok semenjak kelahiran anakku yang bungsu. Aku
ingat ibu tak mau memandang wajahku ketika aku berpamitan pulang ke Jakarta di
akhir kepulanganku ke kampungku lima tahun yang lalu. Aku tahu ibu bukannya
membenciku, tapi ia tak tega mendengar semua keluh kesah hidupku di kota
metropolitan ini. Dan pintanya untuk pulang tak ku hiraukan. Aku tahu kecewa
dimata tuanya. Tapi mau bagaimana lagi? Di kampung pun kami tak punya apa- apa.
Lalu bagaimana aku bertahan di sana? Sementara anak-anakku butuh makan setiap
hari. Ah.. kususut air mata yang mulai deras mengalir dipipiku. Biarlah
semuanya menjadi kenangan saja. Yang kupikirkan sekarang bagaimana anak-anakku
tidak kekurangan makan dan minum. Itu saja. Angin malam semakin dingin menembus
sela-sela kardus yang di jahit suamiku dengan benang kasur.
Bubur nasi yang masih panas itu,
segera ku tuang ke mangkuk yang salah satu sisinya retak. Anakku langsung
gembira menghirup aroma makanan itu. MAtanya pelan-pelan terbuka. Aku meniup
bubur yang panas di sendok yang ku pegang. Ketika bubur itu mencapai bibir
mungilnya, ia terburu-buru menyantapnya. Kemudian berlanjut dengan
suapan-suapan selanjutnya, sampai tak terasa matanya terpejam sebelum bubur di
mangkuk habis. Aku mengelus dada lega. Berarti dia memang lapar. Segera ku
ganti air kompresan yang tadi supaya demamnya cepat turun.
Di luar angin makin surut
berhembus. Tapi kenapa cuaca makin panas
dan membuat anak mungilku berkeringat. Mungkin tanda demamnya mulai surut juga.
Tapi aku juga merasakan cuaca panas itu. Berarti memang malam ini berubah
menjadi panas. Aku mengipas-ipas tubuh mungil anakku dengan kardus bekas air
mineral dekat tumpukan baju kami. Dan udara makin panas, hingga titik-titik air
tiba-tiba jatuh menitik pada atap seng di atas rumah reyot kami. Bunyinya yang
senyap menambah was-was hatiku pada anak sulungku Kinan yang masih bergelimang
dengan malam di luar sana. Kalau suamiku, aku masih tak begitu khawatir. Raga
kokohnya yang menjadi gladiator nasib membuatnya lebih kuat daripada cuaca di
luar sana.
“Kak, ayo main boneka…”
Anakku mengigau dalam tidurnya. Kupegang tubuhnya sudahmulai
hangat. Aku mencoba mengusap-usap rambutnya supaya tidurnya lebih tenang.
“Ibu..
aku pengen baju baru..”
Kata-kata it uterus terngiang di telingaku. Ya, kinan anakku
sulung mengucapkannya ketika tak sengaja kami lewat pasar dekat rel kereta tak
jauh dari tempat pengepul rongsokan sebrang sana. Pasar itu akhir-akhir ini
memang dipenuhi pembeli khususnya ibu dan anak-anak yang mencari perlengkapan
lebaran. Ya Allah… lebaran? Rasa nelangsa menghampiriku kembali. Aku ingat
waktu seumur kinan dulu, aku juga berkata yang sama kepada orang tuaku. Dan
dengan berbinar aku meneriman sebuah baju merah jambu yang berenda indah dari
ibu setelah puasaku genap tiga minggu. Aku tahu ibu meminjam paman untuk
membelikan baju itu. TApi tak pernah terpikirkan olehku darimana asal muasal
baju itu, melainkan hanya rasa senang dan gembira tiada tara.
Aku
membayangkan jika aku bisa membelikan kedua anakku baju yang layak. Mungkin
tidak baru, dari pasar loak misalnya. Tapi uang darimana? Sementara untuk makan
saja kami masih sering kekurangan. Dan penjual baju itupun butuh makan
sepertikami. Lalu aku harus bagaimana? Maafkan ibu nak. Ibu tak sempat
memikirkan kebahagiaan lain selain melihat kalian tumbuh normal dengan makan
layak. Karena tanpa itu, mereka tidak bisa hidup sehat. Sehat? Mungkin bukan
sehat, tapi hidup saja sudah cukup.
Tak terasa
hujan terus menetes makin deras dan makin sunyi. Cuaca yang tadinya panas
menjadi dingin bukan main. Lebih dingin dibanding tadi. Aku begidik sendiri
menahan dingin. Ku serempangkan kain gendongan si kecil untuk mengusir dingin.
Selimut si kecil ku tambah dengan beberapa kain bekas supaya badannya hangat.
KAin kompres sudah ku lepas, karena demamnya sudah surut. Aku berdiri lalu
menyibak kain penutup rumah. Ku tengok keluar. Hanya bunyi hujan yang terdengar
menjatuhi barang-barang bekas sekitar rumah. Dan gambaran malam semakin terasa
sunyi. Hanya bunyi klakson bersahutan di atas sana. Jalanan dan gema takbir
yang bertalu-talu menambah jiwaku sunyi. Kinan kemana? Aku mencoba keluar rumah
berkerudung baskom lebar. Ku tengok ke atas jembatan. Tapi nihil. Hanya mobil dan
motor yang makin lama memenuhi jalanan.
Aku
memutuskan kembali ke rumah. Hingga tak terasa mataku sendiri terpejam tak
sadar dekat si bungsu. Aku terbangun saat tangan dingin menyentuh tanganku. Aku
membeliak. Kinan? Ah! Aku bernafas lega. Ia telah kembali. Tapi keherananku
memuncak. Tubuhnya tak basah sedikitpun. Pakaiannya juga sudah bertukar bukan
yang tadi siang ia pakai. Aku mengernyitkan dahi.
“Bu, ini
aku bawa kue. Aku juga bawa boneka Barbie yang cantik untuk adik.”
Aku menatapnya nanar. Bukan kebanggan yang menyelimuti
jiwaku, tapi rasa marah dan emosi yang mulai memuncak. KU geret tangannya
keluar rumah. Hujan memang tak lagi turun. Hanya titik air yang masih jatuh
pelan-pelan.
“Darimana
kamu dapat barang-barang itu? Kapan ibu mengajarimu mencuri? Kapan ibu
mengajarimu mencuri?!”
Teriakan ku sambil menampar pahanya. Kinan mun dur
ketakutan. Mataku makin memerah. Kinan makin pucat. Ia coba membuka bibirnya.
Tapi tangannya yang mencoba menggapaiku ku hardik.
“Jawab
Kinan. Darimana kau mencuri?”
Kinan menunduk lemah. Air matanya turun deras dan
tangisannya mulai terdengar. Diantara tangis yang mengiba itu, ia mencoba
bicara pelan.
“Ibu..
aku tidak mencuri.”
Aku mencoba sedikit meredakan emosiku. Kurebut tas plastik
di tangannya. Ia dengan pasrah menyerahkan tas plastik yang masih bau toko itu.
Mataku
membelalak melihat isi tas plastik itu. Roti bercap toko kue ternama dengan
taburan keju berlimpah serta boneka Barbie yang sangat indah yang masih
terbungkus rapi di kotaknya. Belum lagi baju-baju yang masih digantungi
merk-merk baru. Aku melempar tas plastik itu. Kakiku nglilu sebelum akhirnya
aku tersimpuh di tanah. Kenapa ia harus mencuri? Sebegitu banyak barang yang ia
dapatkan hari ini, membuatku berpikir rumah dan barang-barang kami tak bisa
untuk membelinya pabila nanti kami ketahuan mencuri.
Kinan
menatapku ketakutan. Tapi bibirnya seolah-olah ingin bergerak berkata-kata.
Tapi amarahku semakin menjadi-jadi. Ia
ku tarik berdiri, lalu kuambil tas plastik yang tadi dibawanya. Aku
menatapnya nanar.
“Tunjukkan
dimana kamu mencuri ! Ibu akan mengembalikannya kesana. Jawab Kinan!”
Aku makin nanar menatapnya. Kinan menggeleng-geleng dan
tangisannya makin keras terisak-isak seolah kehabisan nafas. Aku melepaskan
tangannya kasar. Telunjukku menunjuk wajahnya.
“Kalau
kamu tak menjawab pertanyaan ibu… sekarang pergilah! Ibu akan memaafkanmu
setelah kau kembali dengan baju yang tadi. Tak usah bawa apa-apa. Kembalikan
segera barang-barang itu!”
Perintahku sambil masih emosi dan aku masuk rumah. Masih sempat
kudengar Kinan berkata;
“Tapi
Bu, aku tidak mencuri..”
Aku berbalik badan dan telunjukku menunjuk wajah Kinan penuh
kemarahan.
Kinan
makin terisak. Aku tak peduli. Dengan cepat aku masuk rumah. Kudengar langkah
kaki Kinan menjauh dari rumah. BUnyi seretan sendalnya mulai tak lagi
terdengar. Dadaku mulai sesak. Kinan? Aku memang miskin, tapi aku tak mau
munafik. Aku silau dengan barang-barang mewah seperti yang dibawa Kinan tadi.
Tapi, rasa kecewaku pada anak sulungku itu lebih kuat. Aku tak mau ia tumbuh
menjadi pecundang di tengah kehidupan miskin kami. Aku terisak. Kinan…andai aku
bisa penuhi apa yang diinginkannya? Sebenarnya ia tidak minta apa-apa. Hanya
sepotong baju yang layak di hari lebaran tahun ini. Ah! Aku menepis rasa iba
itu. Aku tak mau anakku menjadi begitu kotor dengan kehidupan kami yang sudah
kotor oleh lumpur-lumpur kemiskinan.
Lama-lama
hujan makin deras kembali. Dan udara yang tadinya normal kembali dingin. Dari
jauh terdengar suara tapak kaki mendekati rumah. Aku menengok ke kain penutup
depan rumah. Kain itu tersibak. Wajah suamiku terlihat.
“Bu…
gimana Hana? Apa ia masih demam?”
Aku tersenyum.
“Sudah
tidak. Tadi sudah minum obat dari warung.”
Hiburku. Tak ku lihat di tangan suamiku memegang bungkusan
apapun. Rasa kecewa terselip di hatiku. Tapi aku mencoba tak bicara apapun.
Suamiku
merebahkan tubuhnya dekat anak bungsuku Hana. Aku mengambilkan air untuknya. Ia
kemudian duduk meminum sedikit air sisa tadi siang itu.
“Maaf,
Pak. Berasnya tadi sudah aku bikin bubur. Hana sepertinya lapar.”
Suamiku tersenyum.
“Biar
saja. Yang penting dia tidak sakit.”
Tiba-tiba saja wajahnya kebingungan.
“Kinan
dimana?”
Aku mulai ikut kebingungan menjawab. Tapi aku tersenyum
getir.
“Apa ia
belum pulang?”
Aku hanya diam tak menjawab.
“Mungkin
ia belum sampai. Tapi tadi…”
“Aku
masih menyuruhnya mengembalikan barang-barang curiannya.”
Suamiku menatapku bingung.
“Barang
curian? Kinan mencuri apa?”
Aku menghela nafas panjang. Kemudian aku bercerita tentang
kejadian tadi. Suamiku menepuk jidatnya.
“Aduh…
kenapa kau suruh dia pergi?”
Mata suamiku memerah. Aku ditatapnya seperti hendak di
telannya. Belum pernah selama kami menikah ia semarah itu. Bola api dimatanya
belum surut saat ia menari tanganku keluar. Di luar rumah dengan rintik hujan
yang masih terus menetes, ia menatap mataku penuh amarah.
“Bu…
kenapa kau suruh ia pergi?”
Aku mencoba bicara
“Aku tak
mau kita ketahuan mencuri. Aku tak mau kinan celaka. AKu tak bisa menerima
barang-barang haram itu!”
Suamiku mengibaskan tanganku.
“Ah!”
Gumamnya sambil mengngacak-acak rambut kumalnya.
“Kau tak
tahu! Kau tak tahu! Ia sudah menjelaskan padamu.Ah!”
“Tapi
aku tak percaya ia memulung barang-barang mewah itu!”
Ucapku membela diri.
“Tapi
dia…hanya aku suruh pulang mengantar barang-barang itu kemari. Sementara aku
masih harus berurusan dengan Bang Jalil di pengepul rongsokan.”
“Maksudmu?”
“Ya… aku
yang menyuruhnya pulang duluan, karena ia dari sore sudah menungguku di dekat
Bang Jalil. Katanya hari ini ia hanya dapat beberapa makanan kecil yang dia
makan sendiripun tak mengenyangkan.”
Aku makin tak mengerti.
“Bapak
sendiri… dapat makanan itu darimana?”
Tanyaku penuh selidik.
“Aku
tadi memang beruntung. Ketika aku memulung barang bekas di depan sebuah rumah
mewah, orang yang punya rumah sedang membagikan barang kepada orang-orang. Nha
aku dapat roti.”
Aku menegaskan
“Di tas
plastik yang Kinan bawa tak hanya ada roti, Pak. Ada baju baru yang bagus, ada
boneka…”
“Iya…
selain roti, orang kaya itu membagikan uang. Mauku uang itu aku belikan kebutuhan
kita. Tapi lagi-lagi aku memang beruntung. Ketika aku memulung tadi seorang
anak di rumah sebelah rumah mewah yang aku pulung ternyata menatapku dari
kejauhan.”
Suamiku berhenti bicara sejenak. Ia menghela nafas.
“Anak
kecil itu tahu aku tak jadi memungut boneka Barbie kecil yang sudah rusak di
tempat sampah. Kemudian ia berlari menghampiriku yang berjalan hendak pergi
dari situ. Ia memintaku sejenak menunggu. Lalu ia kembali dengan sebuah
bungkusan. Sebelum ia menyerahkan bungkusan itu, ia bertanya padaku apakah aku
punya anak kecil perempuan?”
Kembali suamiku berhenti bercerita. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Aku
ingat Hana dan Kinan, Is. Lalu aku mengangguk. Hatiku teriris ingat anak-anak
kita. Andai dia tumbuh seperti anak itu. Malaikat kecil itu kemudian
menyerahkan bungkusan besar di tangannya padaku. Ia memintaku memberikannya
pada anak kita. Aku mencium tangannya. Aku tak bisa berkata apa-apa. Kemudian,
ia tersenyum dan meninggalkanku masuk pagar rumahnya. Ia melambaikan tangan
padaku. Setelah sebelumnya ia mengatakan hidupnya tidak lama lagi. Ia sudah
sakit sejak bayi. Ia tinggal menunggu waktu untuk meninggalkan dunia ini. Aku
berjalan pulang, sebelum akhirnya aku bertemu Kinan dekat Bang Jalil. Ia
memelukku erat saat tahu apa yang aku bawakan untuknya. Ingat Hana yang sakit,
aku suruh Kinan pulang duluan. Aku menunggu uang hasil jual rongsokan.”
Aku tertunduk lemas menatap jalanan tempat Kinan tadi
berjalan pergi.
“Sekarang
bagaimana? Aku harus cari Kinan dimana?”
Aku masih tertunduk lemas dengan air mata yang tak berhenti
mengalir. Pantas, Kinan tak mau mengakui barang itu hasil curian. Dia sendiri
tidak tahu asal muasal barang itu. Tapi kemana aku cari dia? Kinan…
Malam
semakin larut, ketika sehabis menjelaskan padaku tadi suamiku pergi lagi untuk
mencari Kinan. Angin mulai berhembus dingin. Hana yang tadi terbangun sudah
kuminumi susu sachet yang dibelikan suamiku tadi. Walau hanya segelas kecil,
tapi sekarang tidurnya mulai tenang dan tersenyum penuh kedamaian. Aku tak lagi
takut keadaannya. Tapi aku sangat cemas dengan suamiku. Aku hanya bisa menunggu
sampai ia pulang dan doaku selalu ia akan pulang bersama Kinan.
Sampai
tak terasa aku terbangun dari tidur saat Hana tiba-tiba mengguncang-guncang
tubuhku. Aku tergopoh-gopoh melihat cahaya matahari yang sudah mengintip dari
sela-sela didnding kardus rumah kami. Aku buru-buru berdiri dan menggendong
Hana. Ya Allah… dari semalam suamiku belum pulang.
Sementara
gema takbir sudah tak lagi terdengar.
Hanya lafadz sholad Ied yang terdengar mengalun di pagi yang mulai merayap
menjadi siang. Sisa hujan semalam tak lagi basah, melainkan telah kering oleh
sinar matahari pagi. Tiba-tiba saja perutku sakit bukan main. Aku menggendong
Hana keluar rumah sambil menahan sakit di perut yang semakin menjadi. Di atas
jembatan sana telah ramai suara mobil dan motor yang berlomba melewati jalanan
untuk cepat sampai rumah dan berkumpul dengan keluarga merayakan hari raya
pertama. Sakit di perutku tiba-tiba mereda, ketika aku ingat Kinan dan bapaknya
yang belum juga pulang.
Langkahku
gontai menyusuri jalanan kota yang sedikit ramai, meski tak seperti biasanya.
Aku menuju tempat pengepul barang rongsokan, tempat Pak jalil. Biasanya suamiku
suka ada disana. Mungkin saja Kinan juga ada di sana.
Dan
hatiku kembali bergetar hebat saat kudapati rumah Pak Jalil sepi senyap. Bahkan
rumah dari batako bekas itu tergembok pintunya. Aku terduduk lemas di dekat
barang-barang rongsokan yang menggunung disana. Dimana suami dan anakku? Aku
memutuskan mencari mereka dengan menyusuri jalanan yang setiap hari kami lewati
untuk memulung barang-barang bekas. Ya.. jalan menuju perumahan elite ini memang
jalur kehidupan kami. Sejak Kinan bayi bahkan sejak kami tinggal di rumah kardus,
kami sudah menyusurinya. Langkahku terburu-buru sambil menengok kanan kiri
siapa tahu ada mereka yang ku cari.
Di
gerbang perumahan elite itu tak seperti hari raya pada umumnya, sepertinya ada
suasana berkabung. Ku dengar dari security yang berdiri di samping gerbang
masuk tadi
“ Anak
kecil manis itu sudah tiada…”
Hatiku bertanya-tanya. Yang meninggal pasti orang kaya. Soalnya para pelayat
memasuki kompleks perumahan elite itu rata-rata bermobil kinclong. Aku mengira
pasti anak orang kaya.
“Wah…
tak ada lagi anak kecil yang dermawan di sini. Biasanya lebaran begini dia ke
pos satpam ini memberikan kita sepak biscuit dan coklat untuk anak-anak kita.”
Aku terkejut mendengar pembicaraan security itu. Anak kecil
dermawan? Apakah yang dibicarakan suamiku semalam? Anak yang seperti malaikat
itu? Yang memberikan anakku senyum ketulusan dan baju-baju yang dalam mimpi pun
tak pernah bisa kami miliki? Kakiku lemas. Air mataku menggenang dipelupuk
mata. Kesedihan itu tiba-tiba merayap, bercampur dengan penyesalan yang tak
henti mengingat aku telah salah mengartikan kepulangan Kinan. Hatiku bertambah
ngilu menatap ja lanan kompleks elite yang mulai ramai orang melayat.
Sepertinya, jenazah akan segera diberangkatkan.
Langkah
kakiku mulai berbalik arah. Makin kacau saja hatiku mengingat kedua orang yang
kusayangi belum kembali. Mungkin aku harus menunggu mereka di rumah saja.
Percuma aku mencari mereka, karena aku sendiri tak tahu kemana mereka pergi.
Lagipula anak digendonganku sudah merengek sepertinya lapar mulai merayapinya.
Aku takut ia demam lagi seperti kemarin. Aku menggendongnya kembali pulang.
Dari
kejauhan, rumahku sudah kelihatan. Aku hampir tak mengenali ada hal anaeh
didepan rumahku. Sesosok manusia tergelepar didepan pintu. Ya Allah! Suamiku.
Aku panic. Aku lari menghampiri sosok itu. Betapa terkejutnya, ketika ku pegang
tangan suamiku dingin seperti es. Dan badannya tak lagi bergerak. Ku letakkan
saja Hana di tanah dekat suamiku berbaring. Aku menangis terisak memegangi
tubuh kaku suamiku. Kucoba pegang denyut nadinya. Nafasku hampir terhenti saat
tak lagi merasakan detakan disana. Aku lemas. Hana anak bungsuku menangis
seperti menambah rasa duka di hatiku. Air mataku tak lagi tertahan.
“Bapak…!”
Aku memeluk tubuh yang sudah kaku itu. Ia sudah… dan Kinan?
Entahlah… otakku sudah buntu. Suamiku kembali ke rumah tanpa nyawa.. sedangkan anak sulungku? Dia
belum kembali. Aku tak tahu apakah ia akan berani kembali pulang kesini. Aku
cepat menggendong Hana dan berlari menghampiri seorang teman pemulung yang
rumahnya tak jauh dari situ. Mereka tergopoh-gopoh mengikutiku. Aku sendiri tak
tahu bagaimana aku punya uang untuk memakamkan suamiku? Disini tak ada tanah
gratis seperti di kampung. Pinjam pak Jalil? Ya… tapi mendadak kakiku makin
lemas. Pak Jalil bos pengepul rongsokan itu pergi ke Jawa bersama keluarganya.
Ini hari raya. Aku berteriak tak kuasa menahan gejolak dalam batinku yang makin
merajalela sakitnya.
Wanita
teman pemulung disebelahku berusaha menenangkan aku. Masih sempat kulihat tubuh
suamiku digotong masuk rumah kardus kami yang mulai reyot terkena cuaca. Hana
dipegang oleh temanku pemulung yang lain. Mataku berkunang-kunang
“Ya
Allah…..!
Teriakanku diiringi tangisanku yang pecah seketika. Sampai
aku tak ingat apa-apa lagi.
****************************